Wirausaha

EasyHits4U.com - Your Free Traffic Exchange - 1:1 Exchange Ratio, 5-Tier Referral Program. FREE Advertising!



Senin, 14 Februari 2011

kewenangan negara


Kewenangan Negara

Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan Negara lain. Tetapi hal ini tidak bisa diartikan bahwa kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya. Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewenangan atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan dari negara itu.

Dalam pandangan hukum internasional Negara juga mempunyai Hak dan Kewajiban. Hak dan kewajiban Negara terdapat dalam konvensi montevidio tahun 1933 tentang hak dan kewajiban Negara-negara oleh Negara-negara Amerika latin, serta dalam rancangan Deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara yang disusun oleh komisi hukum internasional PBB pada tanggal 1949.

Rancangan tersebut dibuat agar dapat disahkan oleh majelis umum PBB. Dalam rancangan tersebut, prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban tersebut adalah sebagai berikut: 7
7 Huala Adolf, Op. cit., h. 37.
1.   Hak-hak Negara:
      a.   hak atas kemerdekaan
      b.   hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di wilayahnya.
      c.   hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara negara lain
      d.   hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif.

2.   Kewajiban Negara
      a.   kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di Negara lain
      b.   kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain
      c.   kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia
      d.   kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional
      e.   kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai
      f.    kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata
      g.   kewajiban untuk tidak membatu terlaksananya pasal 9 diatas
      h.   kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh secara kekerasan
      i.    kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik, dan
      j.    kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara lain sesuai dengan hukum internasional.

Sedangkan menurut hasil pengamatan J.G. Starke, contoh hak-hak (wewenang) yang disandang sebuah Negara yaitu:
a.   kekuasaan untuk mengatur masalah dalam negerinya
b.   kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang asing
c.   memiliki kekebalan dan hak diplomatic lainnya di luar negeri
d.   memiliki jurisdiksi terhadap tindakan criminal yang dilakukan di dalam wilayah negaranya.

Contoh-contoh kewajiban Negara :
a.   Kewajiban untuk tidak mengganggu wilayah kedaulatan Negara lain
b.   Kewajiban untuk mencegah warga negaranya melakukan perbuatan yang melanggar kemerdekaan atau wilayah Negara lain
c.   Kewajiban untuk tidak ikut campur dalam urusan Negara lain.



Kewenangan individu

Individu sebagai subyek hukum internasional tidak hanya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan, melainkan juga sebagai pihak yang dapat dituntut atas dasar telah melakukan perbuatan melanggar hukum internasional. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Chairul Anwar sebagai berikut:
Tetapi walaupun pada umumnya negaralah yang dipandang sebagai pengemban hak dan kewajiban dalam hukum internasional, kadangkadang individupun dapat dipandang sebagai subyek hukum internasional dalam berbagai hal. Perompak-perompak telah lama dikenal melakukan kejahatan terhadap hukum internasional dan dapat dihukum oleh negara manapun.12

Individu dapat dijadikan pihak untuk diajukan pada pengadilan atas dasar pelanggaran hukum internasional semakin banyak terjadi setelah Perang Dunia II sebagai pihak yang melakukan kejahatan perang, melakukan kejahatan terhadap perdamaian, hukum perang dan perikemanusiaan, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Chairul Anwar

12

sebagai berikut: “Sesudah Perang Dunia II, penjahat-penjahat perang dari negara-negara Poros dituntut dan diadili oleh Mahkamah Militer Internasional, berdasarkan alasan bahwa mereka telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, hukum perang dan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum internasional”.13 Negara-negara poros yang dimaksud yaitu negara-negara yang terlibat secara langsung dalam suatu pertikaian dalam hal ini Italia, Jepang, Jerman. Terhadap pelaku kejahatan perang ini, yang berwenang untuk mengadilinya yaitu Mahkamah Militer Internasional yang berkedudukan di Neurenburg yang dibentuk oleh sekutu. Diantaranya Laksamana Doentizt dari Jerman, Jenderal Yamashita dari Jepang.

Apabila memperhatikan hal di atas nampak terlihat bahwa individu dapat diminta pertanggungjawaban atas dasar pelanggaran hukum internasional. Pertanggungjawaban dibebankan kepada individu yang melakukan perbuatan melanggar hukum internasional ini dengan pertimbangan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap hukum internasional banyak dilakukan oleh individu-individu, sehingga dengan menghukum individu tersebut, ketentuan ketentuan hukum internasional dapat dilaksanakan.

Pengakuan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia lebih memperoleh perhatian setelah dirumuskan secara tegas hak-hak asasi dan kewajiban-kewajiban asasi manusia dalam bentuk deklarasi-deklarasi maupun konvensi-konvensi internasional menempatkan kedudukan individu sebagai pribadi internasional semakin kokoh. Untuk lebih jelasnya mengenai pengakuan atas hak-hak asasi manusia ini, dikemukakan pendapat I Wayan Parthiana sebagai berikut: “Lebih-lebih dengan telah dirumuskannya secara tegas hak-hak asasi dan kewajiban-kewaiban asasi manusia dalam deklarasi maupun konvensi-konvensi internasional, kedudukan individu sebagai pribadi internasional semakin bertambah kokoh”.14

Pendapat I Wayan Parthiana tersebut di atas dipertegas oleh Masyhur Effendi sebagai berikut:
“Jika persoalan individu (perseorangan) dengan hak asasi dapat didekati lebih dahulu lewat hukum internasional, karena individu selain diakui sebagai subyek hukum internasional juga oleh hukum nasional, sehingga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab tertentu”.15

Hak individu dalam pasal 5 Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak asasi Manusia menentukan bahwa “Tiada seorang jua pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam, dengan tak mengingat kemanusiaan ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghinakan”. Tanggung jawab individu dalam hukum internasional atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang diselesaikan melalui Mahkamah Internasional pernah terjadi di mana Mahkamah Internasional atau
14 I Wayan Parthiana, loc. Cit.
15 Ibid., h. 92 – 93.
International Military Tribunal yang bersidang di Nurenburg Jerman Barat dan di Tokyo Jepang pada tahun 1946 secara langsung meminta pertanggungjawaban individu yaitu pemimpin-pemimpin Jerman dan Jepang yang dituduh sebagai pihak yang mengobarkan terjadinya Perang Dunia II. Mereka telah dituduh telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa individu dalam kedudukannya sebagai penjahat perang maupun kejahatan terhadap kemanusiaan harus mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri, yang merupakan pelanggaran atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.

Perjanjian Internasional
Perjanjian dalam hukum internasional adalah perjanjian diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Contoh perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara lain, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, serta Tahta Suci dengan negara.

Pengertian perjanjian internasional menurut konvensi dan beberapa sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut:

Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969:
      perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.

Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1986:
      Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.

Perjanjian Internasional menurut Oppenheimer-Lauterpact:
      Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.

Perjanjian Internasional menurut Dr. B. Schwarzenberger:
      Perjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional dan negara-negara.

Perjanjian Internasional  menurut Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLM
      Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat tertentu.

Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.

Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih, antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakukan antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

1.      Macam-Macam Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a.       Berdasarkan Isinya
1)      Segi politis, seperti pakta pertahanan dan pakta perdamaian.
2)      Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan.
3)      Segu hukum
4)      Segi batas wilayah
5)      Segi kesehatan.
Sebagai contoh: NATO, ANZUS, dan SEATO- CGI, IMF, dan IBRD

b.   Berdasarkan Proses/Tahapan Pembuatannya
1)   Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi.
      2)   Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.
      Sebagai contoh: Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi, Laut teritorial, batas alam daratan, Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.
c.   Berdasarkan Subjeknya
      1)   Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional.
      2)   Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
      3)   Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional organisasi internasional lainnya.
            Sebagai contoh: Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE, Kerjasama ASEAN dan MEE.

d.   Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.
      1). Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
2). Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
      Sebagai contoh: Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan bajak laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali, Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang), Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik dan konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.

e.   Berdasarkan Fungsinya
      1). Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).
2). Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja (perjanjian bilateral).
Sebagai contoh: Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwi kewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.

Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut:
1.   Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.
2.   Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar